RENUNGAN

Bangga sebagai muslim

q
“Aku menjumpai jaman di mana Islam kembali menjadi asing sebagaimana permulaannya dulu,” ungkap Ahmad bin Ashim Al-Anthoki. Lebih lanjut beliau mengatakan, “Menjelaskan kebenaran menjadi asing. Jika aku menemui seorang alim, aku dapati dia terfitnah oleh dunia, cinta popularitas dan kedudukan. Dan jika aku menemui seorang ahli ibadah, aku dapati dia bodoh dipermainkan oleh iblis. Dia merasa telah mencapai tingkat ibadah tertinggi, padahal dia tidak paham ibadah yang terendah sekali pun, maka bagaimana dia sampai pada tingkat ibadah yang tinggi. Sedangkan sisanya adalah manusia rusak sesat, serigala-serigala koruptor, binatang buas pemangsa dan musang yang berlarian.”

Itulah suasana hidup yang dirasakan oleh Ahmad bin Ashim sebelas abad lalu. Padahal masa itu masih sangat dekat dengan masa orang-orang baik. Ternyata, umat telah berada di antara ulama yang teracuni dunia dan ahli ibadah yang beribadah tanpa dilandasi ilmu. Sementara sisanya hidup tak beraturan bagai binatang. Saling memangsa, saling menjerat, saling menyesatkan.

Hari ini kita makin jauh dari masa kebaikan itu. Cahaya kebaikan itu semakin redup. Jendela-jendela kebaikan sudah nampak kusam dan tak terawat. Sementara yang nampak mentereng adalah pintu-pintu dosa yang dilapisi emas. Dalam masyarakat muslim sekalipun. Di saat seperti itulah, terasa sulit untuk bertahan dengan komitmen yang kuat pada Islam. Karena kita akan menjadi “tontonan” aneh. Ibadah sunah, bahkan sebagian ibadah wajib menjadi asing di mata umat Islam sendiri. Tentu kita merasa risih jika semua mata memandang ke arah kita dan semua jari menunjuk pada kita terheran-heran.

Sementara kita dituntut untuk bangga terhadap Islam yang agung ini. Justru di sinilah masalahnya. Tidak mungkin kita akan mendalami Islam dan lebih dekat dan selalu dekat pada Allah tanpa bangga terlebih dahulu. Keterikatan batin dengan Islam menjadikan semua aktifitas hidup berorientasi selalu untuk Islam. Walau berbeda aktifitas, tetapi tetap satu untuk Islam. Dari mulai derai tawa hingga urai air mata. Dari pagi buta hingga waktu senja. Semuanya untuk Islam, Kebanggaan pada Islam lah yang mengawalinya.

Islam ini semuanya membanggakan. Semua sisinya mengagumkan. Setiap sudut-nya menebarkan cahaya dan kedamaian, yang hari ini menjadi barang langka yang tiba-tiba hilang. Nabi tak pernah salah ketika mengatakan, “Dua ajaran Islam yang membuat orang-orang Yahudi iri, ucapan amin dan salam.”

Amin dan salam, keduanya adalah do’a. Do’a yang dibaca dalam keseharian muslim. Lebih dari itu, amin adalah suara kebersamaan. Sementara salam adalah menebarkan keselamatan dan kedamaian dalam masyarakat Islam. Kini salam itu hampir saja punah dari lisan kita. Jarang juga terdengar di setiap perjumpaan di jalan dengan sahabat, teman atau tetangga. Padahal seharusnya salam itu bukan hanya untuk mereka yang kita kenal. Tetapi siapa saja muslim walau tidak pernah kita kenal, maka ucapkanlah salam. “Bacalah salam kepada yang kamu kenal ataupun yang tidak kamu kenal,” sabda Nabi. Bersyukur kita, kata amin masih terdengar dari setiap jamaah sholat. Semoga saja kebersamaan juga terbentuk bersama kata-kata amin yang selalu diucapkan bersama selepas imam sholat.

Rasulullah menunjukkan kepada kita bagaimana harus bangga dengan Islam. Di depan siapa pun, muslim ataupun non muslim. Dalam situasi apapun dan di mana pun. Dengan tanpa beban, bahkan dengan begitu bangga Rasulullah melantunkan ayat per ayat dan menyelesaikan rakaat-rakaat di samping Ka’bah. Kalau Ka’bah ketika itu seperti Ka’bah hari ini, tentu ini bukan masalah. Masalahnya terletak ketika Ka’bah saat itu dikotori oleh tiga ratus enam puluh patung di bawah pengawasan para pembesar Quraisy yang biasa duduk-duduk di hadapan Hijr Ismail. Di tengah pendukung da’wah yang bisa terhitung oleh jari tangan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid, “Ada tujuh orang pertama yang mengumandangkan Islam, Rasulullah, Abu Bakar, Khabbab, Shuhaib, Bilal, Ammar dan Sumayyah.”

Di tengah suasana yang tidak kondusif itulah, kebanggaan pada Islam diuji. Bersama kebanggan yang ditunjukkan Rasulullah itulah, detak Islam makin terasa di kota Mekah. Tidak sedikit yang masuk Islam karena justru mendengar Nabi membaca Al-Qur’an di tengah kerumunan patung dan cacian para pembesar waktu itu. Walaupun kebanggan itu terkadang harus dibayar dengan berbagai cobaan. Mujahid meneruskan pernyataannya, “Adapun Rasulullah dilindungi oleh Abu Thalib, Abu Bakar dilindungi oleh keluarga besarnya, sementara yang lainnya diikat dengan besi kemudian digiring di bawah terik matahari hingga mereka sangat keletihan oleh panasnya besi dan matahari. Ketika hari sudah mulai sore, Abu Jahal laknatullah datang dengan membawa tombak dan mencaci sejadinya.”

Pada gilirannya Nabi dan Abu Bakar pun akan merasakan. Mereka juga harus membayar sebagaimana sahabatnya yang lain. Abu Bakar dipukuli hingga pingsan, Nabi pernah dicekik, disiram pasir di kepalanya saat sujud. Hingga Fatimah sambil membersihkan pasir di kepala ayahnya menangis. Namun Nabi SAW menghiburnya, “Jangan sedih nak, Allah menjaga ayahmu.”

Bangga dengan Islam itu harus. Rasa bangga itu bak tunas yang tidak akan pernah besar, bahkan bisa layu, jika tidak terus kita sirami. Disirami dengan berani menghidupkan ibadah wajib dan sunah dengan berbagai resikonya. Seperti Imam Waki yang dikenal begitu rajin beribadah, mulai dari sholat, puasa dan ibadah lainnya. Ketika suatu saat ditanya apa yang melandasi perbuatannya itu, ia menjawab singkat, “Karena senangnya aku dengan Islamku
ini.”

Sebagai muslim kita harus bangga dengan Islam. Tetapi sebagai manusia, tidak boleh kita bangga dengan “kemanusiaan” kita, yang menjerumuskan pada kesombongan. Setinggi apapun derajat kita, tidak mungkin kita bisa menyamai tingginya gunung. Dan sehebat apapun kita, tidak mungkin mampu menembus bumi. Wallahu’alam

Tinggalkan komentar